Выбрать главу

Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made in England. Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang, sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan keluarga turun-temurun dan benda satu-satunya yang paling berharga di rumah mereka. Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh kilometer setiap hari. Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang pria-pria keturunan N.A. menggunakan gelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli. Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir dari keturunan nenek moyang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat, seseorang bangsawan cerdas anggota keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau.

Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa depan seseorang.

Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga-keluarga K.A. dan N.A.

Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalma rumah itu ada enam macam: beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alatalat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing sepanjang hari. Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataran yang digunakan oleh empat orang tua untuk menjalin pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat, keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu. Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria muday ang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu. Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan, semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga. Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim selatan.

Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhdapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.

Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun kata-kata ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukur berapa jarak

bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut-sudut gelap kosmos yang mungkin hanya pernah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton. Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam, lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar-lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori-pori kepalanya. Ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri geometri sedang tersenyum padanya dan