Выбрать главу

Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia, vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami. Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat kecilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat ia kuasai, satu malam saja, sekali tepuk.

Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam lutung, kami terperangah oleh argumentasi Lintang:

“Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian, sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karenab agi Anda ktia bsuci yang memaktub bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!”

Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri penerangan yang pernah dimiliki republik ini.

“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus menjawab,” perintah Bu Mus.

Biasanya setelah itu aku tergoda untuk menjawab, agak ragu-ragu, canggung, dan kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.

Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi.

Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.; Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum,

“Subhanallah….Subhanallah….”

“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.

“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”

Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu. Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada halhal yang aneh.

“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami. Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam1 yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru. Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid (akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa Inggris. Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang dapat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga2. Sudah demikian lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.

Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya Mahar.

Bab 12

Mahar

BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayatmayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnay utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki seorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta. Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat. Sayangnya sepanjang hidup-nya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.