Выбрать главу

Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseball potensial. Jika — satu di antara sejuta kemungkinan — orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di barak pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah tahu kalau dia berbakat menjadi seorang gitaris classic rock. Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga — hal ini sudah delapan belas kali terjadi — ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud.

“…berkiballah bendelaku….”

“…lambang suci gagah pelwila….”

“… bergelak-bergelak! Selentak… selentak…!”

A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan rendah filicium serta buahbuahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton. Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan suara ribut burung-burung kecil prenjak sayap garis yang berteriak-teriak beradu kencang dengan suara kumbangkumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni.

Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri. Sahara asyik menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.

Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahara mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat-tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.

“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….”

“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka….”

Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan.

Kali ini Bu Mus sudah tak bisa lagi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha semakin aneh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan temantemanku sama sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk, lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena mendengar suaraku. Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.

“…Teguh kukuh berlapis baja!”

“…rantai smangat mengikat padu!”

“…tegak benteng Indonesia!”

Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C. Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheran-heran.

“Mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru…?”

Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri. Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adalah lagu super ringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.

Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai — juga dari kelas satu SD — hanya menampilkan dua buah lagu yang sama, kalau tidak lagu Rukun Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.

“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.

“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”

Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burung-burung prenjak sayap garis1 semakin banyak dan tak

mau kalah dengan kumbang-kumbang betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan.