PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekat-sekat. Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman?
Bab 15
Euforia Musim Hujan
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari. Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang1 rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan menambatkan tali
pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang. Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di tempattempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura tarak perlahan-lahan redup. Jika tarak sudah tak dimainkan maka itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayahwilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran "-ber", seisi dunia tampak lebih murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu Howling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long. Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong. Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang2 hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu. Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi. Aku rasakan tikungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai. Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed racer yang merendahkan tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.