Выбрать главу

Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit. Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecil-kecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.

Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas. Aku menampar-nampar pipinya.

"Dan! Dan ...!" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut menggoyanggoyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong.

"Syahdan... Syahdan.., bangun Dan...," ratap Sahara pedih dan ketakutan.

Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terusmenerus memanggilmanggil nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati. Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib tragis seperti ini.

Kami menggigil ketakutan dan Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraungraung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh.

Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu bercampur dengan air hujan.

Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan tergulingguling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkalikali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anakanak Melayu tak mampu.

Bab 16

Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau

NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohonpohon angsana1 menjadi gundul, bambu-bambu kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat.

Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis. Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid.

Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba menggairahkan!

Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa. Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai. Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam bukubuku komik Hans Christian andersen. Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan — laki-laki dan perempuan — menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut. Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan. Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.