“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam6 yang sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.
Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayamayaman tidak eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar.
“Jangan kau campuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah.”
Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita yang baru berkemah dua hari.”
Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?
Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah penduduk.
“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,” kata Syahdan gemetar.
Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang persona non grata, orang yang tak disukai.
Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi ketidakbecusan diri sendiri.
Kami jarang sekali ingin secara objektif membuka mata melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimana bakat itu berkembang secara alami dengan menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita akan semakin seru!
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya. Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihanserpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat. Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mitos yang menggetarkan.
Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala orang pesisir. Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan sebuah karya hebat yang memiliki nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan Sahara berpen-dapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme, mood-nya rusak berantakan.
Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan. Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menye-babkan nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.
“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.”
Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only. Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17 Agustus.
Bab 17
Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu
MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemai biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran hewan, dan praktek memasak. Konon di Jepang pada tingkat ini para siswa telah belajar semikonduktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilah analog dan digital, sudah belajar membuat animasi, belajar software development, serta praktik merakit robot. Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: good this, good that, excuse me, I beg your pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You Lately That I Love You ternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh pesona cinta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk pria midland bersuara serak: Mr. Rod Stewart.
Tapi sedapat mungkin dengarlah versi Kenny Rogers dalam album Vote For Love Volume 1. Lagu cantik itu ada di trek pertama. Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai pada suatu hari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun.
Membeli kapur adalah salah satu tugas kelas yang paling tidak menyenangkan. Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis mulai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan pot suplir kesayangan Bu Mus serta rupa-rupa kaktus topi uskup, Parodia, dan Mammillaria harus diperlakukan dengan sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretan panjang pot amarilis, kalimatis, azalea, nanas sabrang, Calathea, Stromanthe, Abutilon, kalmus, damar kamar, dan anggrek Dendrobium8 dengan berbagai variannya. Berlaku semena-mena terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran serius.