Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai. Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau balau bukan main.
Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan. Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan emas — asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam band yang lebar, maka akan terdengar persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat cantik.
A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya mampu merisaukan pikiran.
Tokonya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya. Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.
“Kiak-kiak!”
A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Magai di Manggara masempo linna?”
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.
“Kito lui, ba? Ngape de Manggar harge e lebe mura?”
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek campur Melayu.
Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih, tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada bandingannya. Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif. Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.
“Segere! Siun! Siun!” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang lewat, membuyarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal. Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.
“Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis!” keluh A Miauw menarik napas panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban dari seseorang — yang selalu kuduga seorang gadis kecil — yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu. Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang. Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah. Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya. Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.