Выбрать главу

Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai alat, seperti test pen, obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop, dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Guru-gurunya — di bawah komando Ibu Frischa — tampak sangat bangga, mengawal di depan, belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.

Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak-teriak menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau barisannya. Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang paling aku sukai. Tiupan puluhan trombon1 laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman timpani menggetarkan dadaku. Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan. Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata musiknya didatangkan khusus dari Jakarta.

Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa terlibat dalam marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa marching band sekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya. Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang marching band membentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu menyabet juara pertama untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini sangat menekankan konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh peserta. Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari prestisius lambang supremasi sekolah PN.

Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PNTimah, sekretarisnya, seseorang yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas, para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang akan memberi penilaian. Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya. Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa. Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo dulu. Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci penunggu gong sebuah perguruan shaolin. Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah buruh timah yang sedang cuti.

Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.

Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan — tak jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam, celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.

Demikianlah karnaval kami setiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval. Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lam-baikan sepucuk kartu pensiun kepada para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik kelasku terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran. Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak kecil yang menonton di pinggir jalan berduyunduyun mengikutinya.

Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun, dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan. Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya,

“Apa yang dilakukan anak-anak bebek ini?”

Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan, yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis. Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.