Выбрать главу

Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman. Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam, batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang paling sering membuat kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara ini Maharlah yang berkuasa. Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi. Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.

“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seperti orang Sawang dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!”

Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada sekolah perawat di pinggir laut?”

Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemudian, seperti biasa, merepet panjang mencela keluguan A Kiong,

“Apa kau tak paham kalau itu perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!”

Bab 19

Sebuah Kejahatan Terencana

DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.

Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian kami paling artistik. Kami memakai celana merah

tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis berbelangbelang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan gelanggelang yang dibuat dari akar-akar kayu. Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit, atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, ber-bagai jenis perdu sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun, dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya — seperti tertulis pada sketsa — adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah. Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu. Aksesori yang tampaknya biasa saja adalah untaian kalung. Juga sesuai dengan sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternganga mulutnya dan wanita-wanita muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.

Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami, yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar. Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah pohon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk berdoa, mengharukan. Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanjang jalan sangat luar biasa. Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan kami di depan podium kehormatan. Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet1, trompet, saksofon tenor dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!

Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang terbaik.