Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang memukau. Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan brass, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer. Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai ketika tiga orang mayoret — ratu segala pesona — dengan sangat terampil melemparlemparkan tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik, bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliukliuk laksana burung merak sedang memamerkan ekornya. Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius. Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalanjalan dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang. Mereka seperti orang-orang yang tak ’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami ternganga. Mereka seperti orang-orang yang hanya memakan bunga-bunga putih melati dan mengisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan. Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin. Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran. Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind, diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli, yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari initak hanya mendetak degup jantung karena tabla yang berdentumdentum tapi membran vibrasinya juga menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan soraksorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum. Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah sukses biasanya seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa. Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga temantemanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami, membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatal meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher. Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.