Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekasbekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya verlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau verusia belasan. Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiaramutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang...,” demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak...”
Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak rajin shalat maka pandai-pandailah berenang.
Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar. Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habishabisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan. Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti. Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan. Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan mata-nya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat veruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong — karena isinya tadi ditumpahkan Sahara — dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.