Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan terjadi, mimpikah ini?
“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul empat sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul. Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barangbarang ini adalah sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah. Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarnawarni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat mengambil — lebih tepatnya merebut — semua barang yang ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang rebut.
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit — 25 detik lebih tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata. Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para perebut cidera berat. Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekanrekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya ke dalam sebuah karung — juga dengan kecepatan kilat — sampai kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.
Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang maha dahsyat sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas. Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan celananya — bahkan bagian dalam bajunya — telah penuh memasukkan apa saja ke dalma mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga, luar biasa!
Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar ditugaskan khusus selama bertahuntahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya. Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung kemiri, di sela-sela dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.