Orang-orang Melayu, sebagaimana biasa, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air — itu pun hanya sumbatnya saja. Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona. Pukul 3.30 selesai shalat Ashar. Pesan di kotak kapur! Seperti message in a bottle. Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter. Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya menyemangatiku.
“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali maksudnya. Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah. Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa. Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicaukicau di dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar menunggu. Pukul 3.55
Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling. Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabangcabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis5 liar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris6 menuju ke arahku. Pasti ia akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku. Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu. Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku?
Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!
Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!
Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun. Ngiung! Ngiung! Ngiung... Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat kumbangkumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin 252
Miang Sui
selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.
“Siapa namamu?”
Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku. Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku. Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji. Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku. Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku. Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi. Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set, biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kukukukunya yang cantik memegang hio utnuk sembahyang. Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona wajah A Ling.