Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian, seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
“Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya. Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah. Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi yang indah ....”
Aku melambung.
Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan dalam film. Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidi putar. Bukankah komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar. Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku.
Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.
Bab 21
Rindu
DI sebuah buku aku melihatnya mengendarai kuda dengan cara memeluk erat perut hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia mengatakan bahwa ia akan mencampakkan cinta wanita-wanita berdarah campuran Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria terakhir dalam sukunya.
Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia mengembara sendirian di lautan padang rumput Yellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Squamish. Tapi waktu yang mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka, Pagi itu langit melapangkan kedua tangan, menyambut darah asli Pequot, Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku-suku Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemunung yang terjal. Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi. Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok-longok dunia luar.
Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini disebut kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi berbentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong.
Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis. Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya. Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar lengan manusia dewasa dari penyekatnya, inilah tuas kunci utama kluis. Dan ketiga setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.
Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria tua bernarna Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya. Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda keramat berwarna-warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan semacam lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD player, dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tajuan kota mana pun di Pulau Jawa, dan Rp75
adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Pria pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khususnya kami, orang-orang Melayu Beiitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya. Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepanjangan berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif dan orang-orang Beiitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?