Выбрать главу

Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang sama.

Than Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel menerima pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun memacu jantungnya. Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari mempraktikkannya. Beliau menyortir surat sejak subuh dan mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:

"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan jangan beri aku pekerjaan sejak subuh."

"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?" Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kanii. Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.

Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit penting.

Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau Hai untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda. indah, dan harum pula baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkal, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para abat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?

Pak Pos tersenyum menggoda. Beiiau mengeluarka form x13. Tanda terima kiriman penting.

"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah ...," Pak Pos belum puas dengan godaannya.

'Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?"

Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu, Dadaku berdebar-debar. Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah Al-Baqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata. Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru itu berisi puisi.

Cinta benar-benar telah menyusahkanku

Ketika kita saling memandang saat sembahyang rebut

Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak mau pergi dari kamarku

Kepalaku pusing sejak itu...

Siapa dirimu?

Yang berani merusak tidur dan selera makanku?

Yang membuatku melamun sepanjang waktu?

Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!

Namun ingin kukatakan padamu

Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu

Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....

A Ling

Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk tersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku di sampingnya. Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu tampak mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku.

Bab 22

Early Morning Blue

TEKANAN darahku terlalu rendah. Penderita hipotensi tidak bisa bangun tidur dengan tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang mengerikan. Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan gulungan tikar lais saat aku sedang tertidur lelap.

"Bangun!" hardiknya. "Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau nanti!" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga, tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendela-jendela masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbirit-birit menyerbu tempat wudu.

Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku, berusaha meregangregangkan mataku, jantungku terengah-engah, aku bersusah payah mengumpul-ngumpulkan nyawa.