"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat," tambahnya lagi belum puas membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan kontra. Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis.
Mahar menyambar upeti itu dan secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa, baginya kejadian itu tidak lucu. Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas memandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah aku mendaki gunung setinggi ini?
Panorama dari puncak ini seperti musik. Intronya adalah gumpalan awan putih yang mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitan-suitan panjang burungburung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring, sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan kecil kawanan murai batu. Reffrain-nya adalah ribuan burung punai yang menyerbu hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik diakhiri secara fade out oleh jajaran panjang hutan bakau tangkapan hujan yang memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong Kelumpang.
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.
Jauh Tinggi
A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Selumar
Tinggi, tinggi sekali, sampai ke puncaknya
Hanya untuk melihat atap rumahmu
Hatiku damai rasanya
Bab 23
Bil itonite
SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling. Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya adalah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal
dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kalengkaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!
Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeoh-ku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul dan berkejaran.
Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku, seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak terdapat tato — pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi pada tiga jari-jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam. Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong. Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sebingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.
Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya sendiri.
Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu. Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak masuk akalku sampai sekarang.
Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kuku-kuku yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor, panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya.
Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele Yeoh-ku?
"Apa yang terjadi?" Syahdan mendekatiku. "Ikal, tangan siapa seperti pentungan satpam itu?"
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik.
Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi gelang tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang terkendali.