Выбрать главу

Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisak-isak, ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya.

Mungkin awalnya ia hanya ingin menggoda temantemannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal. Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh. Namun, ia akan sial sekaii jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point of no return, karena lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati. Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru' yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi permukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.

Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mungkin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satu-satunya hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibak-nyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkah-langkah pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya ganas di Belitong. Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beiiau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada. Bahkan diyakini beliau duiu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, clan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi perompak barangkali. Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.

Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu, Banyak yang mengatakan para perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana. Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri. Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar seorang eksentrik yang dianugerahi indra keenam.

Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri karena bermasalah dengan perangkat syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika, paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.

Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orangorang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah maiam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oieh sang manusia siluman setengah peri. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan,