"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis beterbangan," kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu-perahu perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa." Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, "Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu tinggi. Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami merasakan udara yang penuh daya magis."
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.
"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit-lilitkan. Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya."
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya. Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata." Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.
"Kami menceritakan maksud kedatangan karni. Beliau mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas inilah beliau menulis."
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis:
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA:JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DIDEKAT GUBUK LADANG YANG DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam — atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satu-satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya terlambat?
Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini — kriminal dari kaca-mata PN Timah tentu saja — telah ada sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad ke-17. PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak pidana subversif. Di gununggunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah. Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang — terutama yang dekat sungai — telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satu-nya megafon yang dibekali posko telah habis baterainya. Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, semangat kami pun melemah. Kami mulai dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar — kalau bukan disebut hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang melecehkan Tuk gayan Tula.
"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susahsusah kita mencari-cari seperti ini," desah Kucai sambil terengahengah. Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke lembah. melainkan naik terus ke puneak, atau berjalan berputar-putar niengelilingi lereng, tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekalan air dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan. Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami — kecuali Mahar — datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.