Выбрать главу

Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami berkumpul di sana unluk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat penjuru angin.

Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali. Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat, tanpa trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan seperti taman eden, harus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup membayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya. Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku pernah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan bumi ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya.

Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib.

"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta." Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, "Dan ada gubuk!" katanya penuh semangat.

"Kita harus turun ke sana!" katanya lagi tanpa berpikir panjang. 304

Tuk Bayan Tula

Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telah melampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab.

"Apa kau sudah gila!" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar.

"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!" Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.

"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi FloFlo baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!" Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar.

"Lagi pula mana mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ...," Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah-marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis. "Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya."

Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, "Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri...."

Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batu-batu besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.

Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wilayah maut pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri. Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan.

Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari kami telah berada di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasak gelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang. Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu — dan yang paling tolol — adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar. Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular bergelantungan di dahandahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti sedang mengintai musuh.