Выбрать главу

Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di sini?

Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan. Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut — terutama jika ia masih hidup — maka ia pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewan-hewan ini sudah keterlaluan. Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah akarakar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah yakin FIo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.

Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar. Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendap-endap seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata. Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buahbuahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!

Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia. Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengong-bengong pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!

Bab 25

Rencana B

AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikanku kelinci percobaan. "Anak-anak jin yang tersinggung?" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud baik. Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat menambah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.

Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong langsung menyalami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.

"Apa kubilang!" barangkali itulah maknanya. Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri. Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bisa Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.

Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.

Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun 30-an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah berantah di Inggris sana. Desa kecil itu bernama Edensor. Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor: "Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua .... Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-ramah petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar."

Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta. Herriot menggambarkan Edensor dengan begitu indah dan memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentang padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.