Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung riuh rendah, mataku menatap lembut pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jika Trapani seluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Belajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitong sana mengangankan berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas. Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak 'kan ada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis. Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian tahun — lima tahun! — bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di tempat antah berantah di Inggris sana dan hanya diceritakan melalui sebuah buku ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlukan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia bebas?
Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur hidupnya. Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagian terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-kuku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepengapan Toko Sinar Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka?
Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama memang tak 'kan pernah mati, tapi ia juga tak 'kan pernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal seseorang secara emosional memberikan akses pada sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi Aphrodite-nya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan-pertentangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas. Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga keanehan dapat terjadi, seorang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh seorang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanlta, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kan pernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggungjawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan. Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadian dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif dalam menilai pengalamanku. Aku mulai bangkit untuk menata diri. Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy making plans! Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang ayam. Ada juga piala yang dipakai menjadi semacam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan melakukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol. Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua selangkangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan kiri!