"Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu, Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini." Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap katakatanya adalah batu berat puluhan kilo yang ia seret satu per satu.
Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang baru saja marah juga tersenyum. Sebuah senyum terpaksa karena kami semua sudah tahu reputasi Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahar dan sekarang harus ditambah lagi satu anak setengah laki-laki setengah perempuan yang sudah pasti tak bisa diatur! Hari ini adalah hari yang sial dalam hidup Bu Mus.
Flo sendiri acuh tak acuh, ia tak tersenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini berkarakter tegas, pasti, tahu persis apa yang ia inginkan, dan tak pernah ragu-ragu, sebuah gambaran sikap yang mengesankan. Bapaknya juga menatap anaknya, suatu tatapan penuh kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling ruangan kelas kami yang seperti ruang interogasi tentara Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasrah ia menyampaikan ini.
"Maka saya serahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan." Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon diri. Kepala Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti. Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh di Sudan. Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang kurus bidang mekar seperti memiliki bantalan di pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar.
Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas, kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo hari dan reputasinya semakin top karena barubaru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia meng-KO hampir seluruh lawannya padahal ia satu-satunya petarung wanita. Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.
"Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda duduk di sana dengan Sahara" Sahara senang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusap-usap kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak. Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan memandang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali memandang kami dan kami terkejut ketika dengan pasti ia menunjuk Trapani sambil bersabda:
“Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!”
Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dari mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru. Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau memikirkan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah yang akan dibuat Mahar dan murid baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia. Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka ia tak mau duduk dengau Sahara. Di sisi lain ia menganggap Trapani harus mengalah karena ia adalah seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat pada Trapani agar lungsur. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga macam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat. Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya, Trapani kehilangan teman sebangku dan ia sekarang harus duduk dengan Sahara yang temperamental. Sahara sendiri sangat tidak suka menerima Trapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.
Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra?
Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dari taman eden Gedong?
Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah Muhammadiyah atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun dan dalam keadaan sehat wal afiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.
PADA hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari Jumat paling menarik karena berumbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak. Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku, dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka-jangka kecil, berbagai jenis pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya.
Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai. Jumlah uang itu semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapatkan dari orangtua kami.
Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia diantar sopirnya — dengan sebuah mobil mewah tentu saja — setelah ia sarapan dari semacam benda yang dapat membuat roti meloncat. Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar tempo hari ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dari sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung antikemapanan, tergila-gila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik. Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda perdukunan. Karena orangnya memang ekstrovert dan berpikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo. Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi filicium dan sejak sore itu ia resmi kami bai'at sebagai anggota Laskar Pelangi. Saat pelangi melingkar dan guruh bersahut-sahutan membahana di atas langit Belitong Timur, ia mengucapkan janji setia persaudaraan.