Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar paranormal tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa depannya. Parapsikologi2, metafisika3, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: belajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun. Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bola badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat:
"Nasib baik memihak para pemberani!"
Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan susah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyaksikan pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas menutup tokonya. Mahar melanjutkan pidato dengan berapi-api.
"Kami rela menggadaikan harta benda kesayangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai bukan organisasi sembarangan!"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan beliau itu."
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira.
"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai." Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahanlahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA
UNTUK KALIAN BERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU, BELAJAR!!
Bab 30
Elvis Has Left the Building
KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Pulau Putri yang dibintangi S. Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan — atau berarti lebih tepatnya keratuan — di pulau itu sedang diteror seorang nenek sihir berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.
Kami menonton film yang diputar sehabis magrib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi. Dan kami, sepuluh orang — termasuk Flo — duduk berjejer di bangku paling belakang. Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Pe-nonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK".
Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Pulau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.
"Asyik," kata Kucai berbinar-binar.
Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anakanak lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.
Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak menonton. Ia bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar. Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.
Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan. Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.
Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.
"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu," Samson berkeras.
“Mana mungkin,” bantah Kucai.
“Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan," serang A Kiong.
Samson masih berkelit, “Apa kau sendiri menonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sembunyi.”
Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, "Semua pria brengsek!" katanya ketus.
Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.
"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan berarti kami tak tahu jalan ceritanya," Mahar memojokkan Samson. Demi mendengar kata "melirik sekali-sekali" itu Sahara semakin jijik.
"Semua pria menyedihkan!"
Samson membalas Mahar, “Ah.! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!”
Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.
Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik negeri ini. Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita.