Dua belas tahun kemudian....
SEORANG wanita setengah baya berjalan dengan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi!
"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini," kata Dahroji. Ia pergi menahan murka. Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf "r" dan "g" yang keluar dari tenggorokannya, tarikan alisnya serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar negeri dan ia muak dengan semua ketidakefisienan di negeri ini. Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Ya, memang gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir. Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error!
Telah tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.
“Hoe vaak moet ik je dat nog zeggen!!” hardiknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: ‘saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru’
Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.
Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana A-ku dua belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotak-kotak sortir surat. Bahkan rencana B-ku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan kehidupan sosial, juga telah gagal — meskipun di dalam hati aku masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.
Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku ber-dasarkan pertimbangan komersial. Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh tulisan jorok seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano. Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi me-nyamanyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbang-anku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha me-nguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out. Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B-ku itu, buku bergenre humaniora itu — sambil memejam-kan mata dengan hati yang redam — kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.
Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari buku Herriot yang sangat kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam khayalanku. Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan:
"Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadikan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh ...!!" Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan. Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang ada republik ini.
Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang marketing melihatku sebagai target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku melalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.
Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekerjaan ini tidak termasuk dalam profesi yang ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Setelah usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita insomnia. Setiap malam antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, terseok-seok menuju kantor pos melewati bantaran Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat. Saat orang-orang Bogor bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah. hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Yang kutahu pasti cuma satu haclass="underline" aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.