Выбрать главу

Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelan. Aku gugup membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu. Engsel pintu berdecit panjang, menimbulkan rasa gamang.

Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.

Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan. Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengjlap. Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke kanan. Ia gugup dan sering menarik napas panjang. Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.

Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit lengan ibunya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan melihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakkan dada itu. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.

Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami pamit keluar ruangan.

Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku.

"Ikal...," suara lirih itu berucap.

Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terheran-heran, apalagi aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang baru saja kututup. Kami berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.

"Ikal...," panggilnya lagi.

"Mereka memanggil Cicik!" teriak Eryn menatapku takjub. Salah seorang dari pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik, berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masing-masing dengan jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abu-abu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku, tangannya menjangkau-jangkau. Ibunya terisak-isak dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka adalah Trapani dan ibunya.

Bab 32

Agnostik

Satu titik dalam relativitas waktu:

Saat inilah masa depan itu

TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. Ia sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan tampaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggung-tanggung:

dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di lehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang memborong segala macam barang itu.

Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Ia mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya. Toko ber-judul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu.

Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melambungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu. Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pemah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah selu-ruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit, pan-tat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata. Ia dulu adalah venus dari Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.