“Mari jalan-jalan ke luar, Nona Daythorne.
“Ya, sebentar.”
Jalan-jalan ke pantai memang hal yang biasa. Cahaya bulan — udara Atlantik yang lembut.
Dan kemudian, lengan Hugo memeluknya.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Kau tahu aku mencintaimu, Vera?”
Ya, dia tahu.
(Atau mengira dia tahu.)
“Aku tak bisa mengajakmu menikah. Aku tidak punya uang. Itu saja yang bisa kuperbuat. Kau tahu, aku pernah berharap menjadi orang kaya selama tiga bulan. Cyril lahir tiga bulan setelah kematian Maurice. Kalau saja bayi itu perempuan…”
Seandainya anak itu perempuan, Hugo akan kaya sekali. Dia pernah berterus terang bahwa dia kecewa.
“Tentu saja aku tidak terlalu mengharapkannya. Tetapi ini tetap merupakan pukulan. Ah, biarlah, nasib adalah nasib! Cyril anak yang baik. Aku sangat menyayanginya.”
Dan dia memang sayang pada Cyrilir. Selalu siap diajak bermain atau bercanda oleh kemenakan kecilnya. Hugo bukan seorang berhati jahat atau pendendam.
Cyril memang tidak terialu sehat. Seorang anak yang kecil dan lemah — tak punya stamina. Seorang anak yang mungkin tidak bisa tumbuh…
Dan kemudian—?
“Nona Daythorne, mengapa saya tidak boleh berenang ke jurang?”
Rengekan yang diulang-ulang dan sangat menjengkelkan.
“Terlalu jauh, Cyril…”
“Tetapi, Nona Daythorne…”
Vera bangkit berdiri. Dia melangkah ke meja rias dan dan mendari tiga butir aspirin.
Dia berpikir:
“Kalau saja aku punya obat tidur.”
Dia berpikir:
“Kalau aku ingin menghabisi diriku, aku akan menelan veronal sebanyak-banyaknya atau obat yang semacam itu — bukan sianida!”
Vera menggigil ketika teringat wajah Anthony Marston yang ungu dan tersengal-sengal.
Ketika dia melewati perapian dia melihat syal kecil dalam pigura.
Sepuluh anak Negro makan malam;
Seorang tersedak, tinggal sembilan.
Dia berpikir sendiri:
“Mengerikan sekali — persis seperti sore tadi.
Anthony Marston ingin mati?
Dia sendiri tidak ingin mati.
Dia tak bisa membayangkan dirinya ingin mati.
Kematian adalah untuk orang lain.
Bab enam
I
Dokter Armstrong bermimpi…
Dalam ruang operasi udara sangat panas…
Mereka menyetel temperatur terlalu tinggi. Keringat mengalir pada wajahnya. Tangannya lembab. Sulit memegang pisau bedah erat-erat…
Pisau itu tajam sekali…
Mudah sekali melakukan pembunuhan dengan pisau seperti itu. Dan tentu saja dia sedang melakukan pembunuhan…
Tubuh wanita itu kelihatan lain. Sebelumnya tubuh itu besar dan berat. Tapi sekarang menjadi kecil dan ringan. Dan wajahnya tersembunyi.
Siapakah yang harus dibunuhnya?
Dia tidak bisa mengingatnya. Tetapi dia harus tahu! Haruskah dia bertanya kepada perawat?
Perawat itu memandangnya. Tidak, dia tidak bisa bertanya kepadanya. Dia tahu, perawat itu curiga.
Tetapi siapakah yang ada di meja operasi?
Seharusnya mereka tidak menutupi wajah orang itu…
Seandainya dia bisa melihat wajah itu…
Nah. Begitu lebih baik. Seorang dokter baru membuka sapu tangan itu.
Tentu saja Emily Brent. Dia harus membunuh Emily Brent. Alangkah jahat matanya! Bibirnya bergerak. Apa yang dikatakannya?
“Di tengah-tengah kehidupan kita mati……”
Sekarang dia tertawa. Jangan, Suster, sapu tangan itu jangan ditutupkan pada wajah itu lagi. Aku ingin melihatnya. Aku harus memberinya obat bius. Mana eter-nya? Tadi aku telah membawanya. Anda apakan eter itu, Suster? Chateau Neuf du, Pape? Ya itu pun boleh.
Ambil sapu tangan itu, Suster.
Tentu saja! Aku sudah tahu dari tadi. Pasti Anthony Marston! Wajahnya ungu dan menggelikan. Tapi dia tidak mati — dia tertawa. Lihat, dia tertawa! Dia menggoncang-goncangkan meja operasi.
Awas, awas. Suster, tenangkan dia — tenangkan —
Dokter Armstrong terbangun kaget. Sudah pagi.
Sinar matahari masuk memenuhi kamarnya.
Dan ada seseorang membungkuk kepadanya menggoncang-goncangkan badannya. Ternyata Rogers. Dengan muka pucat dia berkata, “Dokter — Dokter!”
Dokter Armstrong benar-benar terbangun.
Dia duduk di atas tempat tidurnya. Dan berkata dengan tajam,
“Ada apa?”
“Istri saya, Dokter. Saya tidak bisa membangunkan dia.
Ya Tuhan! Saya tidak bisa membangunkannya. Dan dan dia kelihatan aneh.”
Dokter Armstrong memang cepat dan efisien. Dia memakai baju luar dan mengikuti Rogers.
Dia membungkuk di atas tempat tidur wanita yang sedang tidur dengan tenang. Dia mengangkat tangan yang dingin, membuka kelopak matanya. Beberapa menit kemudian dia tegak kembali dan meninggalkan tempat tidur itu.
Rogers berbisik,
“Apakah dia — apakah dia —?”
Dia membasahi bibirnya.
Dokter Armstrong mengangguk.
“Ya, dia telah pergi.”
Matanya memandang laki-laki di depannya. Kemudian melihat ke meja di dekat tempat tidur, ke tempat cuci tangan, dan kembali pada wanita yang sedang tidur itu.
Rogers berkata,
“Apakah — apakah — karena jantungnya, Dokter?”
Dokter Armstrong diam sejenak sebelum menjawab. Kemudian dia berkata,
“Biasanya kesehatannya bagaimana?”
Rogers berkata,
“Dia sedikit rematik.”
“Akhir-akhir ini ada dokter yang merawatnya?”
“Dokter?” Rogers menatapnya. “Sudah bertahun-tahun tidak pernah ke dokter — tak seorang pun dari kami melakukannya.”
“Kamu tidak menganggap dia menderita penyakit jantung?”
“Tidak, Dokter. Saya tidak pernah mengetahui itu.”
Armstrong berkata,
“Apakah dia biasanya tidur nyenyak?”
Mata Rogers menghindar. Kedua tangannya bertaut dan jari-jarinya saling meremas. Dia menggumam,
“Tidak. Biasanya dia tidak tidur terlalu nyenyak,”
Tuan Dokter berkata dengan tajam,
“Apakah dia telah menelan sesuatu supaya bisa tidur?”
Rogers memandangnya dengan heran.
“Menelan sesuatu? Supaya bisa tidur? Setahu saya tidak. Saya yakin tidak.”
Armstrong mendekati tempat cuci tangan. Di situ ada beberapa botol. Minyak rambut, air lavender, caseara, gliserin timun untuk tangan, obat kumur, odol, dan beberapa produk Elliman.
Rogers membantu dengan menarikkan laci meja rias. Dari situ mereka pindah melihat lihat laci lemari. Tapi mereka tidak menemukan obat tidur.
Rogers berkata,
“Tadi malam dia tidak menelan apa-apa, Tuan, kecuali yang Tuan berikan kepadanya…”
II
Ketika gong makan pagi berbunyi pada jam sembilan, setiap orang sudah siap dan menunggu.
Jenderal Macarthur dan Tuan hakim baru saja berjalan-jalan di teras luar, sambil bertukar pandangan mengenai masalah politik.
Vera Daythorne dan Philip Lombard berjalan-jalan ke puncak pulau di belakang rumah. Di sana mereka bertemu William Henry Blore yang sedang memandang daratan.
Dia berkata,
“Belum ada tanda-tanda perahu motor. Saya menunggunya dari tadi.”
Vera tersenyurn dan berkata,
“Devon seperti orang mengantuk. Segalanya biasanya terlambat.”
Philip Lombard memandang ke arah laut.
Tiba-tiba dia berkata,