Выбрать главу

Cuping hidungnya bergetar.

Laut… bau laut di St. Tredennick.

Itulah. Tidak salah lagi. Tentu saja orang yang ada di suatu pulau pasti mencium bau laut, tapi ini lain. Ini adalah bau yang pernah diciumnya di pantai hari itu — ketika air surut dan karang-karang tertutup ganggang laut yang kering karena panas matahari.

“Bolehkah saya berenang ke karang, Nona Claythorne?”

“Mengapa saya tidak boleh berenang ke karang?…”

Anak kecil manja, cerewet, dan cengeng! Kalau bukan karena dia, Hugo pasti sudah kaya… bisa menikah dengan gadis yang dicintainya…

Hugo…

Tentu — tentu — Hugo ada di sampmignya?

Bukan, dia menunggunya di dalam kamar…

Dia melangkah maju. Angin dari jendela menghembus nyala api lilin. Api itu bergoyang redup dan mati…

Tiba-tiba dia menjadi takut di dalam gelap…

“Jangan tolol,” Vera Claythorne memberanikan diri. “Tidak apa-apa. Yang lain ada di bawah. Keempat-empatnya. Tidak ada siapa-siapa di kamar. Tidak mungkin. Engkau berkhayal saja, Nona.”

Tetapi bau itu — bau pantai St. Tredennick… itu bukan khayalan. Itu benar-benar ada.

Dan ada seseorang di dalam kamar… Dia mendengar sesuatu — dia yakin mendengar sesuatu…

Dan kemudian, ketika dia berdiri di situ mendengarkan — sebuah tangan yang dingin menyentuh lehernya — tangan basah, dengan bau laut…

III

Vera menjerit. Dia menjerit dan menjerit –jeritan kengerian yang sangat — teriakan liar dan putus-asa mengharap pertolongan.

Dia tidak mendengar suara di bawah, suara kursi terbalik, pintu dibanting dan kaki laki-laki yang berlari naik tangga. Dia hanya merasa ngeri.

Lalu, dia sadar, cahaya lilin muncul di pintu lilin-lilin — laki-laki berlari ke kamarnya.

“Ada apa? Apa yang terjadi? Ya, Tuhan, apa itu?”

Dia menggigil gemetar, melangkah maju, pingsan, dan jatuh di atas lantai.

Dia hanya setengah sadar melihat seseorang membungkuk di atasnya, seseorang yang menekan kepalanya ke bawah di antara lututnya.

Kemudian ketika seseorang berteriak dengan cepat “Ya, Tuhan, lihat itu,” dia pun kembali sadar. Dia membuka matanya dan mengangkat kepalanya. Dia melihat apa yang dilihat laki-laki yang mengacungkan lilin mereka.

Seutas ganggang yang cukup tebal dan basah terjurai dari langit-langit. Itulah yang menyentuh lehernya dalam kegelapan tadi. Benda itulah yang dikiranya tangan basah, tangan si mati yang tenggelam dan yang akan merenggut hidupnya!

Dia mulai tertawa histeris. Dia berkata,

“Itu ganggang laut — hanya ganggang laut dan bau itulah yang tercium tadi…”

Dan kemudian dia merasa pening kembali gelombang demi gelombang kesulitan menyapu dirinya. Sekali lagi, seseorang menekankan kepalanya di antara kedua lututnya.

Waktu yang lewat bagaikan berabad-abad. Mereka menawarkan minuman — menekankan gelas ke bibirnya. Dia mencium bau brandy.

Dia hampir saja meneguk minuman itu dengan rasa syukur ketika dengan tiba-tiba, suatu peringatan kecil — seperti lonceng — berdentang di kepalanya. Dia duduk tegak, menyorongkan gelas di depannya.

Dia berkata dengan tajam, “Dari mana minuman ini?”

Suara Blore menjawab. Sebelum menjawab dia tertegun sejenak. Dia berkata,

“Saya mengambllnya dari bawah.”

Vera berteriak,

“Saya tidak akan meminumnya…”

Sunyi sejenak, kemudian Lombard tertawa.

Dia berkata memuji,

“Bagus, Vera. Anda memang hebat — meskipun baru saja ketakutan setengah mati. Saya akan mengambil sebuah botol baru yang belum dibuka.”

Dia keluar dengan cepat.

Vera berkata dengan ragu-ragu,

“Saya tidak apa-apa sekarang. Saya akan minum air.”

Armstrong menopang tubuhnya ketika dia mencoba berdiri. Dia berjalan ke tempat cuci tangan, terhuyung-huyung dan mencengkeram Armstrong. Dia membiarkan air mengalir dari kran dan kemudian baru mengisi gelasnya. Blore berkata dengan sengit,

“Brandy itu tidak apa-apa.”

Armstrong berkata,

“Bagaimana Anda tahu!”’

Blore berkata dengan marah,

“Saya tidak menaruh apa-apa di dalamnya. Saya kira, itu yang Anda maksudkan.”

Armstrong berkata:

“Saya tidak berkata bahwa Anda yang melakukannya. Anda mungkin melakukannya, atau orang lain yang membubuhi botol itu dengan sesuatu.”

Lombard dengan cepat kembali ke ruangan.

Dia membawa botol brandy baru dan pembuka botol.

Dia menyodorkan botol yang masih tertutup itu di bawah hidung Vera.

“Ini, Nona. Tidak perlu dicurigai.” Dia mengupas tutup kertas timah botol itu dan membukanya. “Untung banyak persediaan minuman di rumah ini. U.N. Owen memang baik.”

Vera gemetar hebat.

Amstrong memegang gelas — sedangkan Philip menuang brandy. Dia berkata,

“Sebaiknya Anda minum ini, Nona Claythorne. Anda baru saja mengalami kejutan dahsyat.”

Vera minum brandy itu sedikit. Wajahnya kembali berwarna.

Philip Lombard berkata dengan tertawa,

“Wah, ini adalah sebuah pembunuhan yang tidak sesuai dengan rencana!”

Vera berkata dengan berbisik,

“Menurut Anda — itukah yang dimaksudkannya?”

Lombard mengangguk.

“Mengharapkan Anda mati karena ketakutan! Ini bisa terjadi bukan, Dokter?”

Armstrong tidak begitu setuju. Dia berkata dengan ragu-ragu,

“Hm — sulit untuk mengatakan. Calon korban yang muda dan sehat — tidak menderita lemah jantung. Tidak mungkin. Sebaliknya —”

Dia mengambil gelas brandy yang dibawa oleh Blore. Dia memasukkan sebuah jari ke dalamnya, dan mencicipinya dengan hati-hati. Roman mukanya tidak berubah. Dia berkata dengan ragu-ragu, “Hm, rasanya tidak apa-apa.”

Blore maju dengan marah. Dia berkata,

“Kalau Anda mengatakan bahwa saya memasukkan sesuatu di dalamnya, akan saya tempeleng Anda.”

Vera yang telah sadar dan bisa berpikir dengan baik mengalihkan perhatian dengan berkata,

“Di mana Tuan Hakim?”

Ketiga laki-laki itu saling memandang.

Aneh… saya kira dia naik ke atas bersama kita.” Blore berkata,

“Saya juga mengira begitu… Bagaimana, Dokter, Anda di belakang saya tadi.”

Armstrong berkata,

“Saya kira dia mengikuti saya… Tentu saja dia berjalan lebih lambat daripada kita. Dia kan sudah tua.”

Mereka saling memandang lagi.

Lombard berkata,

“Betul-betul aneh…”

Blore berteriak,

“Kita harus mencarinya.”

Dia melangkah ke pintu. Yang lain mengikutinya,

Vera paling belakang.

Ketika mereka menuruni tangga, Armstrong berkata sambil menoleh ke belakang,

“Barangkali dia masih tinggal di ruang tamu.”

Mereka menyeberang ruang besar. Armstrong memanggil dengan keras,

“Wargrave, Wargrave, Anda di mana”’

Tidak ada jawaban. Kesunyian menyetimuti rumah itu, kecuali suara gemercik air hujan.

Di pintu masuk ruang tamu, Armstrong berdiri tertegun. Yang lain mendekat dan bergerombol di belakangnya.

Seseorang berteriak.

Tuan Justice Wargrave duduk di kursi yang bersandaran tinggi di ujung ruangan. Dua buah lilin menyala di sisinya. Yang melihat menjadi terkejut karena dia duduk dengan berselimut merah dan dengan kepala tertutup wig hakim…

Dokter Armstrong memberi isyarat pada yang lain agar tidak mendekat. Dia sendiri berjalan ke tubuh yang diam dan mata yang melotot. Jalannya sedikit goyang seperti orang yang sedang mabuk.